TakaTekno

Memilih Frame Rate yang Tepat Untuk Video dan Film Pendek Kamu

4 Mins read
Memilih frame rate yang tepat

Assalamu’alaikum, selamat datang kembali di Takatik – Informasi Utak-atik!

Dalam membuat sebuah video, pasti butuh kamera. Dan di dalam kamera ada setting FPS (Frames Per Second) atau Frame Rate. Settingnya ada banyak, dari yang paling rendah 23,976 / 24 fps, hingga paling tinggi 180 fps. Bahkan di beberapa kamera tertentu, ada yang bisa mencapai 1000 fps atau lebih!

Wah, jadi bingung nih mau pilih frame rate yang mana. Mana yang bener nih?

Jawabannya: semuanya bener. Tergantung kebutuhan aja.

Di sesi TakaTekno kali ini kita akan membahas bagaimana memilih frame rate / FPS yang tepat sesuai dengan kebutuhan videomaking / filmmaking. Jadi kita tidak bingung lagi dalam memilih fps dalam video editing dan videomaking.

Let’s jump right into it!

Apa itu Frame Rate / FPS?

Frame Rate / FPS adalah jumlah munculnya gambar (disebut sebagai frame) secara berurutan dalam satu detik. Jadi, jika sebuah video direkam 24 fps, berarti dalam satu detik video itu menampilkan 24 frame gambar.

Seperti yang kita ketahui, film pada dasarnya terdiri dari banyak gambar yang disusun secara berurutan sehingga terlihat bergerak.

Urutan animasi kuda karya Eadweard Muybridge (Wikipedia)
Rangkaian animasi kuda karya fotografer abad ke-19, Eadweard Muybridge (Wikipedia)

Nah, berarti semakin tinggi frame rate, semakin banyak gambar yang muncul, semakin banyak informasi yang bisa ditampilkan.

Inilah kenapa dalam membuat video slow motion diperlukan frame rate yang tinggi (30, 60 fps ke atas), sehingga bisa menampilkan banyak detail gerakan yang secara kasat mata tidak bisa / susah dilihat.

Macam-macam frame rate dan kegunaannya

Sekarang ada berbagai macam frame rate yang bisa kita jumpai di kamera yang kita punya. Di antaranya:

  • 24/25 fps – standar perfilman. Kebanyakan film saat ini menggunakan frame rate ini. Hampir semua kamera digital, dari DSLR hingga mirrorless dilengkapi ini.
  • 29,97 / 30 fps – standar TV/Broadcast/Live. Ketika dikonversikan ke 24 fps, akan menghasilkan efek slow motion yang ‘dreamy’.
  • 50 / 60 fps – menghasilkan gerakan yang sangat mulus. Cocok untuk slow-motion karena jumlah frame yang banyak.
  • 120 /180 fps – Biasa ditemukan di banyak kamera mirrorless dan DSLR high-end. Jumlah frame yang banyak membuat frame rate ini sangat cocok untuk super slow-mo. Slow-mo yang super lambat

Baca Juga: Cara Membuat Video Slow Motion dengan twixtor

Semakin modern, semakin besar juga fps yang dijumpai di dunia perfilman. Kamera i-SPEED 5 Series, mampu merekam video hingga 6,382 fps di resolusi Full HD. Kamer ini biasa digunakan di acara TV otomotif Inggris, Top Gear

Sebenarnya, kita tidak harus terpaku pada standar frame rate yang ada. Boleh kok untuk bereksperimen! Nggak sedikit lho filmmaker yang bereksperimen.

The Hobbit: An Unexpected Journey (2012)
The Hobbit: An Unexpected Journey (2012)

Film karya sutradara Peter Jackson, The Hobbit, menggunakan frame rate dua kali frame rate standar, 48 fps. Alasannya, dengan frame rate yang tinggi film akan terlihat lebih jernih, khususnya film berformat 3 dimensi (3D).

Sejarah Perkembangan Frame Rate

Di berbagai bidang industri video dan perfilman, standar penggunaan frame rate berbeda-beda. Bahkan beda negara juga bisa berbeda fps.

Setelah kita tahu apa saja macam-macam frame rate, yuk kita bahas sejarahnya di dunia perfilman, dari abad ke-19 hingga sekarang.

Film bisu (Silent Films) – 1894-1936

Sallie Gardner at a Gallop (c. 1877), direkam oleh Eadweard Muybridge dengan serangkaian kamera di sepanjang jalur pacuan kuda, disebut sebagai “photo-movie” pertama.

Awal mula perkembangan film, silent film (film tanpa suara) memiliki frame rate yang bervariasi di antara 16 hingga 24 fps. Karena kamera zaman dahulu harus diengkol/dikerek (diputar dengan tangan secara manual), frame rate kadang berubah sesuai dengan mood scene tertentu.

Petugas proyektor bioskop juga bisa mengganti frame rate langsung dari proyektor. Biasanya bioskop pada zaman itu menampilkan frame rate yang lebih tinggi di banding filmnya.

Akan tetapi, ini malah menghasilkan gerakan yang tersentak-sentak (jerky motion).

Untuk mengakalinya, proyektor dipasang shutter berhelai tiga, yang membuat setiap frame ditampilkan tiga kali, meningkatkan flicker rate menjadi 48 atau 72 hertz. Sehingga mata penonton menjadi tidak capek.

Pengaturan shutter ini sekarang kita kenal dengan shutter speed di kamera.

Thomas Alfa Edison mengatakan bahwa 46 fps adalah minimal yang dibutuhkan agar mata bisa melihat gerakan. “Kurang dari itu akan menyiksa mata,” ujar Edison.

Film bersuara – 1926

Poster tahun 1908 mempromosikan film bersuara produksi Gaumont Film Company, Prancis. The Chronomégaphone, didesain untuk ruang besar, menggunakan udara terkompresi untuk membesarkan suara (Wikipedia)

Ketika film bersuara diperkenalkan pada tahun 1926, frame rate yang bervariasi mulai ditinggalkan, karena telinga manusia sangat sensitif terhadap perubahan frekuensi suara.

Banyak bioskop film bisu saat itu menampilkan frame rate di antara 22-26 fps, sehingga industri perfilman memilih 24 fps sebagai pertengahan. Di tahun 1927 hingga 1930 seiring dengan diperbaruinya peralatan studio, 24 fps menjadi standar film ukuran 35 mm.

Ini memungkinkan penggunaan shutter berhelai dua, yang mampu menampilkan rangkaian gambar sebanyak 48 per detik, yang memuaskan rekomendasi Edison.

Animasi

Kiki’s Delivery Service (1989)

Di mana kebanyakan film menggunakan 24 fps, animasi menggunakan 12 fps – yang berarti setiap gambar ditampilkan setiap dua frame.

Meskipun memiliki frame rate rendah, kebanyakan penonton tetap puas karena luwes-nya gerakan animasi. Ketika sebuah karakter animasi harus bergerak cepat, terkadang gambar ditampilkan setiap satu frame, karena setiap dua frame terlalu lambat.

Di kartun-kartun yang dibuat dengan budget rendah, gambar ditampilkan dengan jarak antar frame yang lebih jauh lagi. Bisa tiga atau empat frame per gambar, yang berarti hanya 6 sampai 8 fps. Anime biasanya menggunakan teknik ini.

Standar video modern

Di zaman modern ini kita bisa dengan mudah menonton video, dari bioskop, TV, komputer hingga smartphone di dalam genggaman. Standar frame rate berbeda-beda, tergantung negara dan media pemutaran.

Ada dua standar internasional – NTSC dan PAL. NTSC (National Television System Committee) digunakan di Amerika Serikat, Jepang dan berbagai negara lainnya. Sedangkan PAL (Phase Alternating Line) digunakan di Eropa, Afrika, dan beberapa negara di Asia Tenggara (termasuk Indonesia)

  • 24 fps (25 fps di PAL) adalah standar sinema (film).
  • 25 fps juga menjadi standar TV di PAL. Sedangkan NTSC menggunakan 30 fps.

50i, 50p, apa bedanya?

Mungkin beberapa dari kalian menjumpai 50i/60i di settingan kamera. Apa bedanya dengan 50p/60p?

50i merekam 50 frame per detik dengan interlace scanning system, sedangkan 50p dengan progressive system.

Interlaced scan adalah teknik menggandakan frame rate sebuah video tanpa menghabiskan bandwidth berlebihan. Teknik ini sering digunakan di produksi TV.

Jadi ketika kita memilih 50i, pada dasarnya kita memilih 25p.

Saya jadi ingat ketika dulu meminta teman untuk shoot 50p supaya bisa slow-mo. Ternyata dia menggunakan setting 50i. Ketika di-import ke Premiere Pro, otomatis menjadi 25p. Jadi saya harus cari cara agar bisa di slow-mo tanpa patah-patah. Nambah kerjaan dong.

Proses interlacing sebuah video (Wikipedia)

Interlaced video menampilkan garis scan ganjil dan genap secara terpisah. Garis scan genap tampil terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan garis scan ganjil.

Itulah kenapa ketika sebuah video interlaced di-pause persis saat ada sebuah gerakan, akan terlihat garis-garis scan.

Contoh interlace vs deinterlaced

Penutup

Kita sudah bahas banyak ya, dari apa itu frame rate, kegunaannya dan bahkan sejarahnya dari zaman Charlie Chaplin.

Saya di sini juga masih belajar. Ada informasi tambahan? Ada yang salah? Jangan sungkan untuk berkomentar, ya!

Semoga bermanfaat. Happy video and filmmaking!

Sumber:
Wikipedia, Aframe, Studiobinder, DIYPhotography, Techsmith, Sony

28 posts

About author
+ Creative Designer at Click Five Studio +Freelance Graphic Artist & Designer, Video Editor & (Soon) Video Game Designer.
Articles
Related posts
TakaHow

Edit Video di Premiere Pro, lalu DaVinci Resolve Dengan Mudah

Selamat datang di Takatik – Informasi utak-atik! Suka edit video? Kenal dengan Adobe Premiere Pro pastinya kan? Adobe Premiere Pro adalah salah…
TakaHow

Menghilangkan Jerawat Wajah di Video Kamu? Bisa!

Di dunia digital yang kita hidup di dalamnya ini, kita dimanjakan dengan berbagai macam teknologi yang serba canggih, serba ada, dan serba…
TakaHow

Membuat dan Menambah Subtitle di Adobe Premiere Pro

Kali ini kita akan belajar tentang Subtitle. Kita juga bisa kok bikin sendiri di Adobe Premiere Pro!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.